Jumat, 02 Januari 2009

Kesetiaan memelihara tradisi Jawa

Setiap pukul 09.00 WIB para pemain gamelan jawa yang biasa disebut para niyaga itu telah bersiap di Bangsal Sripanganti Keraton Jogja. Mereka terdiri dari beberapa laki-laki dan perempuan berumur dari berbagai daerah di Jogja yang tetap patuh mengikuti adat kraton. Para niyaga tersebut datang dari Wonosari, Kulonprogo, Bantul, Sleman dan juga dari Kota Jogja. Sebanyak 63 perkumpulan niyaga tersebut datang bergantian setiap hari ke Keraton Jogja guna memainkan gamelan bergending Jawa mulai pukul 10.00-12.00WIB. Permainan itu merupakan bentuk penghormatan daerah kepada Keraton yang secara langsung juga memiliki peran dalam mempertahankan budaya.

Bagi setiap penabuh gamelan Jawa di Keraton Jogja diwajibkan memiliki tatakrama atau sopan santun tertentu mulai dari pakaian sampai perilaku.
Dari sisi pakaian, pemain laki-laki wajib memakai penutup kepala yang disebut iket pranaan biru. Selain itu mereka juga wajib mengenakan pakaian sorjan berwarna biru dengan garis 3-4 atau disebut lupat. Sedangkan bawahan mengenakan jarik khas Jogja yang bercirikhas ada warna putihnya dan bertekuk depan atau wiru engkol.

Sementara itu, pemain perempuan wajib mengenakan gelung tekuk di kepalanya atau disebut ukel tekuk. Sedangkan untuk pakaianya para niyaga perempuan ini wajib berpakaian krah sampai di leher atau disebut sinen jagong dan mengenakan jarik atau bawahan gaya Jogja. Pelan-pelen mereka mendekati pendopo seluas 20 x20 meter. Di sebelah selatan pendopo itu berjajar dua perangkat gemelan bernama Kyai Madharsih untuk slendro dan Kyai Pamikatarsih untuk pelog. Sementara itu, sebelah utara dari pendopo berjajar kursi untuk para tamu.

Sebelum naik ketas pendopo para niyaga tersebut terlebih dahulu menghormat dengan cara duduk bersimpuh dan menyembah pendopo. Selanjutnya mereka menaiki tangga pendopo dengan berjalan jongkok sampai di depan peralatan masing-masing. Begitu sampai di depan gamelan mereka siap melantunkan alunan gending Jawa khas Jogja.

Setelah ada aba-aba dari salah satu niaga dengan kendang alunan gending bertempo lambat mulai terdengar. “Ning... nong... ning... gung...” suara itu membuat perhatian puluhan wisatawan asing dan domestik yang sedang berkunjung ke Keraton Jogja. Ada yang duduk manis mendengarkan alunan gending dan suara waranggana, ada juga yang sibuk memotret atau merekam.

Frank dan Alysia misalnya. Dua wisatawan asing ini mengaku baru pertama kali melihat dan mendengar musik tradisional ini di langsung dari Keraton Jogja. “Kesenian ini sangat luar biasa indahnya,” kata Frank yang datang dari Prancis. Sementara Alysya yang berasal dari Australia mengaku terkesan dengan kekompakan para pemain sehingga menjadi irama yang harmoni.

Perhatian itu berbeda dengan Romo Yamto yang kesehariannya menjadi pengawas pemain gamelan. Tiap hari dia bersama seorang abdi dalem atau pegawai kerajaan duduk dibelakang pendopo mendengarkan gending dengan seksama untuk mencatat kesalahan bagian gending yang sedang dimainkan oleh para niyaga.

Ia harus mencatat setiap kekeliruan dan memberikan saran kepada kelompok setiap kali setelah pertunjukan. Menurut Romo Yamto, para niyaga yang bermain tersebut merupakan perkumpulan-perkumpulan di seluruh wilayah Jogja yang berjumlah 63 perkumpulan dan dibina serta diawasi oleh Keraton Jogja. “Pertunjukan yang dilakukan oleh perkumpulan dari berbagai daerah untuk Keraton ini telah ada sejak sekitar tahun 1990. Saya juga hanya meneruskan pendahulu,” kenang Romo Yamto.

Gamelan di Jogja sendiri merupakan gamelan Jawa yang berbeda dengan gamelan Bali ataupun gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan gamelan Bali yang rancak dan gamelan Sunda yang mendayu-dayu dan didominasi suara seruling.
Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya. Pandangan hidup masyarakat Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama.

Romo Yamto mengatakan, “Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.” Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong, bonang. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu.

Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending.

Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A dengan perbedaan interval yang besar.

Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.

Gamelan dapat sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa. Penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana.

Oleh Tentrem Mujiono
Wartawan Harian Jogja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar