Jumat, 02 Januari 2009

Tradisi RUWATAN

Mbambhung

Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan didalam hidupnya. Kebudayaan Jawa sebagai subkultur Kebudayaan Nasional Indonesia, telah mengakar bertahun-tahun menjadi pandangan hidup dan sikap hidup umumnya orang Jawa. Sikap hidup masyarakat Jawa memiliki identitas dan karakter yang menonjol yang dilandasi direferensi nasehat-nasehat nenek moyang sampai turun temurun, hormat kepada sesama serta berbagai perlambang dalam ungkapan Jawa, menjadi isian jiwa seni dan budaya Jawa.
Wayang sebagai pertunjukan, merupakan ungkapan-ungkapan dan pengalaman religius yang merangkum bermacam-macam unsur lambang, bahasa gerak,suara, warna dan rupa. Dalam wayang terekam ungkapan pengalaman religius yang “kuno” seperti tampak bahwa pada tahap perkembangannya dewasa ini, masih berperan pula mitos dan ritus, misalkan pada lakon Ruwat atau Murwa Kala.
Secara tradisional, wayang merupakan intisari kebudayaan masyarakat Jawa yang diwarisi secara turun temurun, tidak hanya sekedar tontonan dan tuntunan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam kehidupannya, namun juga merupakan tatanan yang harus dititeni kanti titis. (merupakan hukum alam yang maha teratur yang harus diketahui dan disikapi secara bijaksana) untuk menuju kasunyatan serta mencapai kehidupan sejati. Bagi manusia jawa (manusia yang mengerti sejati) wayang merupakan pedoman hidup, bagaimana mereka bertingkah laku dengan sesama dan bagaimana menyadari hakekatnya sebagai manusia serta bagaimana dapat berhubungan dengan sang penciptanya.
Tradisi “upacara/ritual ruwatan” hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosanya/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam cerita “wayang” dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa (jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.
Dalam tradisi jawa orang yang keberadaannya dianggap mengalami nandang sukerto/berada dalam dosa, maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri DewiUma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut “Kama salah kendang gumulung”. Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solosi ,agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan. Kata Murwakala/ purwakala berasal dari kata purwa (asal muasal manusia), dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran: atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).
Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sbb: Alat musik jawa (Gamelan), Wayang kulit satu kotak (komplit), Kelir atau layar kain, dan Blencong atau lampu dari minyak. Selain peralatan tersebut diatas masih diperlukan sesajian yang berupa:
Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setudun, yang sudah matang dan baik, yang ditebang dengan batangnya disertai cengkir gading (kelapa muda), pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa, daun alang-alang, daun meja, daun kara, dan daun kluwih yang semuanya itu diikat berdiri pada tiang pintu depan sekaligus juga berfungsi sebagai hiasan/pajangan dan permohonan. Dua kembang mayang yang telah dihias diletakkan dibelakang kelir (layar) kanan kiri, bunga setaman dalam bokor di tempat di muka dalang, yang akan digunakan untuk memandikan Batara Kala, orang yang diruwat dan lain-lainnya.
Api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan.
Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan dibawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar (kelir) sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar dimuka kelir sebagai alas duduk Ki Dalang, sedangkan di belakang layar sebagai tempat duduk orang yang diruwat dengan memakai selimut kain mori putih.
Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang diatas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah menyebelah).
Bermacam-macam nasi antara lain: Nasi golong dengan perlengkapannya, goreng-gorengan, pindang kluwih, pecel ayam, sayur menir, dsb. Nasi wuduk dilengkapi dengan ikan lembaran, lalaban, mentimun, cabe besar merah dan hijau brambang, dan kedele hitam. Nasi kuning dengan perlengkapan telur ayam yang didadar tiga biji. Srundeng asmaradana.
Bermacam-macam jenang (bubur) yaitu: jenang merah, putih, jenang kaleh, jenang baro-baro (aneka bubur).
Jajan pasar (buah-buahan yang bermacam-macam) seperti : pisang raja, jambu, salak, sirih yang diberi uang, gula jawa, kelapa, makanan kecil berupa blingo yang diberi warna merah, kemenyan bunga, air yang ditempatkan pada cupu, jarum dan benang hitam-putih, kaca kecil, kendi yang berisi air, empluk (periuk yang berisi kacang hijau, kedele, kluwak, kemiri, ikan asin, telur ayam dan uang satu sen).
Benang lawe, minyak kelapa yang dipergunakan untuk lampu blencong, sebab walaupun siang tetap memakai lampu blencong.
Yang berupa hewan seperti burung dara satu pasang ayam jawa sepasang, bebek sepasang.
Yang berupa sajen antara lain: rujak ditempatkan pada bumbung, rujak edan (rujak dari pisang klutuk ang dicampur dengan air tanpa garam), bambu gading linma ros. Kesemuanya itu diletakan ditampah yang berisi nasi tumpeng, dengan lauk pauknya seperti kuluban panggang telur ayam yang direbus, sambel gepeng, ikan sungai/laut dimasak anpa garam dan ditempatkan di belakang layar tepat pada muka Kyai Dalang.
Sajen buangan yang ditunjukkan kepada dhayang yang berupa takir besar atau kroso yang berisi nasi tumpeng kecil dengan lauk-pauk, jajan pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen). Sajen itu dibuang di tempat angker disertai doa (puji/mantra) mohon keselematan.
Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki kelapa. Kamar mandi yang untuk mandi orang yang diruwat dimasuki kelapa utuh.
Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita citakan.


Mbambhung

12-27-2008, 06:34 PM

Yang Perlu Atau Harus Di Ruwat

Menurut kepustakaan “Pakem Ruwatan Murwa Kala” Javanologi gabungan dari beberapa sumber, antara lain dari Serat Centhini (Sri Paku Buwana V), bahwa orang yang harus diruwat disebut anak atau orang “Sukerta” ada 60 macam penyebab malapetaka, yaitu sebagai berikut:

1.`Ontang-Anting, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan.
2. Uger-Uger Lawang, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak anak yang meninggal.
3. Sendhang Kapit Pancuran, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang ke 2 perempuan.
4. Pancuran Kapit Sendhang, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu perempuan sedang anak yang ke 2 laki-laki.
5. Anak Bungkus, yaitu anak yang ketika lahirnya masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi (placenta).
6. Anak Kembar, yaitu dua orang kembar putra atau kembar putri atau kembar “dampit” yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang lahir pada saat bersamaan).
7. Kembang Sepasang, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak yang kedua-duanya perempuan.
8. Kendhana-Kendhini, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
9. Saramba, yaitu 4 orang anak yang semuanya laki-laki.
10. Srimpi, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan.
11. Mancalaputra atau Pandawa, yaitu 5 orang anak yang semuanya laki-laki.
12. Mancalaputri, yaitu 5 orang anak yang semuanya perempuan.
13. Pipilan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki.
14. Padangan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 1 orang anak perempuan.
15. Julung Pujud, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam.
16. Julung Wangi, yaitu anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari.
17. Julung Sungsang, yaitu anak yang lahir tepat jam 12 siang.
18. Tiba Ungker, yaitu anak yang lahir, kemudian meninggal.
19. Jempina, yaitu anak yang baru berumur 7 bulan dalam kandungan sudah lahir.
20. Tiba Sampir, yaitu anak yang lahir berkalung usus.
21. Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan.
22. Wahana, yaitu anak yang lahir dihalaman atau pekarangan rumah.
23. Siwah atau Salewah, yaitu anak yang dilahirkan dengan memiliki kulit dua macam warna, misalnya hitam dan putih.
24. Bule, yaitu anak yang dilahirkan berkulit dan berambut putih “bule”
25. Kresna, yaitu anak yang dilahirkan memiliki kulit hitam.
26. Walika, yaitu anak yang dilahirkan berwujud bajang atau kerdil.
27. Wungkuk, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung bengkok.
28. Dengkak, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung menonjol, seperti punggung onta.
29. Wujil, yaitu anak yang lahir dengan badan cebol atau pendek.
30. Lawang Menga, yaitu anak yang dilahirkan bersamaan keluarnya “Candikala” yaitu ketika warna langit merah kekuning-kuningan.
31. Made, yaitu anak yang lahir tanpa alas (tikar).
32. Orang yang ketika menanak nasi, merobohkan “Dandhang” (tempat menanak nasi).
33. Memecahkan “Pipisan” dan mematahkan “Gandik” (alat landasan dan batu penggiling untuk menghaluskan ramu-ramuan obat tradisional).
34. Orang yang bertempat tinggal di dalam rumah yang tak ada “tutup keyongnya”.
35. Orang tidur di atas kasur tanpa sprei (penutup kasur).
36. Orang yang membuat pepajangan atau dekorasi tanpa samir atau daun pisang.
37. Orang yang memiliki lumbung atau gudang tempat penyimpanan padi dan kopra tanpa diberi alas dan atap.
38. Orang yang menempatkan barang di suatu tempat (dandhang - misalnya) tanpa ada tutupnya.
39. Orang yang membuat kutu masih hidup.
40. Orang yang berdiri ditengah-tengah pintu.
41. Orang yang duduk didepan (ambang) pintu.
42. Orang yang selalu bertopang dagu.
43. Orang yang gemar membakar kulit bawang.
44. Orang yang mengadu suatu wadah/tempat (misalnya dandhang diadu dengan dandhang).
45. Orang yang senang membakar rambut.
46. Orang yang senang membakar tikar dengan bambu (galar).
47. Orang yang senang membakar kayu pohon “kelor”.
48. Orang yang senang membakar tulang.
49. Orang yang senang menyapu sampah tanpa dibuang atau dibakar sekaligus.
50. Orang yang suka membuang garam.
51. Orang yang senang membuang sampah lewat jendela.
52. Orang yang senang membuang sampah atau kotoran dibawah (dikolong) tempat tidur.
53. Orang yang tidur pada waktu matahari terbit.
54. Orang yang tidur pada waktu matahari terbenam (wayah surup).
55. Orang yang memanjat pohon disiang hari bolong atau jam 12 siang (wayah bedhug).
56. Orang yang tidur diwaktu siang hari bolong jam 12 siang.
57. Orang yang menanak nasi, kemuadian ditinggal pergi ketetangga.
58. Orang yang suka mengaku hak orang lain.
59. Orang yang suka meninggalkan beras di dalam “lesung” (tempat penumbuk nasi).
60. Orang yang lengah, sehingga merobohkan jemuran “wijen” (biji-bijian).

Demikianlah 60 jenis “Sukerta” yaitu jenis-jenis manusia yang telah dijanjikan oleh Sang Hyang Betara Guru kepada Batara Kala untuk menjadi santapan atau makanannya, bahkan menurut Pustaka Raja Purwa (jilid I halaman 194) karya pujangga R. Ng. Ranggawarsito disebutkan ada 136 macam Sukerta. Menurut mereka yang percaya, orang-orang yang tergolong di dalam kriteria tersebut di atas dapat menghindarkan diri dari malapetaka (menjadi makanan Betara Kala) tersebut, jika ia mempergelarkan wayangan atau ruwatan dengan cerita Murwakala. Ada juga lakon ruwatan yang misalnya: Baratayuda, Sudamala, Kunjarakarna dll.
Selain Sukerta, terdapat juga “Ruwat Sengkala atau Sang Kala” yang artinya menjadi mangsa Sangkala yaitu jalan kehidupannya sudah terbelenggu serta penuh kesulitan, tidak bisa sejalan dengan alur hukum alam (ruang dan waktu) ini disebabkan oleh kesalahan-kesalahan perbuatan atau tingkah lakunya pada masa lalu.

Tari Tradisional Jawa

SERATUS tahun silam, negara kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk. Yang ada kelompok- kelompok etnis seperti Jawa, Bali, Minang, dan Melayu yang hidup terpisah-pisah di bawah kekuasaan penjajah Belanda. Sebelum penjajah hadir, penguasa pribumi-raja-raja, terutama Jawa dan Bali- melegitimasikan kekuasaan dan pengaruhnya dengan patronase dan penyelenggara berbagai pertunjukan sebagai bagian dari upacara negara, agama, atau kegiatan rekreasi dan hiburan semata.

Melalui upacara spektakuler seperti garebeg, sekaten, eka dasa rudra, dan galungan para raja menunjukkan kebesarannya. Melalui wacana konsep dewa-raja, ratu gung binathara, gelar kebesaran sayidin panata gama kalifatullah tanah Jawa, rakyat diyakinkan akan kekuasaan dan kebesaran penguasa. Masyarakat Jawa masa lalu terbagi dua kelompok para priyagung dan rakyat biasa (kawula alit). Posisi tak menguntungkan rakyat kecil ini secara tradisi harus diterima dengan patuh tanpa bertanya.

Masuknya penjajah Belanda memperburuk situasi hidup. Raja-raja, penguasa lokal yang didewakan rakyat, tak lagi berkuasa penuh tetapi harus tunduk dan melayani kepentingan penjajah Belanda. Awalnya, para penguasa pribumi secara sporadis melawan Belanda. Mereka berjuang sendiri-sendiri dengan kekuatan ekonomi, militer, teknologi, dan strategi yang tak memadai, karenanya banyak yang tergilas.

Tiga ratus tahun berjuang tanpa hasil, raja-raja Jawa dan Bali kemudian banyak yang pasrah dan memusatkan perhatiannya pada kegiatan gamelan, tari dan wayang, atau mistik. Wacana budaya pada saat ini adalah bertahan hidup. Kebesaran raja-raja Jawa sebenarnya tinggal nama, karena secara politik dan ekonomi mereka sangat bergantung kepada Pemerintah Hindia Belanda. Ada kalanya para raja justru membantu penjajah Belanda mengeksploitasi rakyatnya.

Patronase pertunjukan tari, wayang dan gamelan tetap, walau jumlahnya berkurang. Upacara-upacara besar yang diselenggarakan raja berubah fungsi dari sebuah ritual yang mengandung martabat menjadi hiburan atau klangenan yang lebih mementingkan gebyar wujud daripada esensi isi. Upacara garebeg misalnya, tak lagi diselenggarakan semata-mata untuk keselamatan dan kemakmuran Raja Jawa dan rakyatnya, tetapi juga (dan terutama) untuk Kanjeng Ratu Wilhelmina.

Memasuki abad ke-20, seiring dengan pergerakan nasional, terjadi demokratisasi dan komersialisasi. Seni pertunjukan yang semula dihayati sebagai ekpresi budaya perlahan-lahan berubah menjadi produk atau komoditas. Tontonan keraton yang semula merupakan klangenan kaum ningrat, diproduksi secara populer untuk rakyat biasa. Di Surakarta, Sunan Paku Buwono X membuka Taman Hiburan Sri Wedari dengan pertunjukan wayang orang yang main setiap malam. Masyarakat Surakarta dan sekitarnya (yang masih kuat berorientasi ke budaya istana), menyambut dengan gembira. Melalui pertunjukan wayang orang, mereka bisa mengidentifikasikan dirinya dengan kaum priyayi dan bisa mengagumi kebesaran masa silam. Raja dan rakyat memiliki perasaan yang sama dalam menghadapi penjajah Belanda.

Di Yogyakarta, dengan restu Sultan, perkumpulan tari Krida Beksa Wirama didirikan tahun 1918 dan sejak itu tarian keraton boleh diajarkan kepada rakyat banyak. Upaya meneguhkan legitimasi kekuasaan raja tetap dilakukan dengan patronase pertunjukan gamelan, tari, dan wayang. Selama memerintah (1921-39), Sultan Hamengku Buwono VIII mementaskan 11 lakon wayang orang. Beberapa di antaranya didukung oleh 300-400 seniman dan mengambil waktu 3-4 hari, dari jam 06:00 sampai 23:00.

Di Bali, hadirnya Belanda mendorong seniman tari dan gamelan untuk menciptakan karya-karya sekuler yang setiap saat dapat dimainkan untuk hiburan wisatawan. Gamelan kebyar yang spektakuler dan cemerlang muncul pada awal abad ke-20 dan dengan cepat menyebar dari Bali Utara ke seluruh wilayah Bali. Merespon gamelan kebyar yang tengah digemari, seniman tari desa dari Tabanan, I Mario, menciptakan karya-karya unggul yang sekarang dikenal sebagai tari Kebyar Terompong dan Jago Tarung. Sementara interaksi seniman tari Bali dengan pelukis Jerman Walter Spier, membuahkan tarian Kecak sekular yang kemudian dikenal dengan Monkey Dance.

Hadirnya Pemerintah Hindia Belanda di satu pihak menyengsarakan rakyat, di lain pihak memungkinkan seniman Jawa dan Bali memperkenalkan keseniannya kepada bangsa lain. Rombongan kesenian (gamelan) Jawa pertama ke luar negeri diberangkatkan tahun 1893, ketika pemerintah Hindia Belanda memromosikan hasil perkebunan (teh dan kopi) Jawa ke ekspo kolonial di Chicago, Amerika Serikat. Tak aneh, jika sampai sekarang masyarakat Amerika dan Eropa menyebut kopi dengan istilah “Java”.

Dari Bali, rombongan ke luar negeri bersejarah dikirim ke Exposisi Paris pada tahun 1926, di antaranya menampilkan tari Barong-Rangda yang disaksikan oleh tokoh pembaharu teater Perancis kenamaan Antonin Artaud. Terpukau menyaksikan pertarungan Barong-Rangda, Artaud menulis kesan-kesan dan visinya tentang teater baru dalam buku Theatre and Its Double yang berpengaruh luas dalam perkembangan teater dunia.

Orieantalisme

Pertemuan dengan kelompok tari modern pertama dari Amerika Serikat terjadi tahun 1925 ketika rombongan Ruth St Denis (dengan Martha Graham sebagai salah seorang penari) mengadakan pertunjukan di Jakarta. Bisa dimengerti jika pada pertemuan pertama ini interaksi terjadi berat sebelah, seniman-seniman tradisi kita lebih banyak memasok. Sementara Ruth St Denis mendapat ilham menciptakan beberapa karya Orientalis seperti Batik Vendor, Javanese Dancer, dan Balinese Dancer.

Orientalisme (Edward Said, 1989) adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh masyarakat terpelajar Eropa-Amerika sebagai alat untuk menginterpretasikan wilayah dan budaya non-Barat (Oriental) seperti Mesir, Timur Tengah, Asia Selatan/India, Cina, Jepang, Korea, Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dalam konsep Orientalisme, masyarakat dan budaya Timur dianggap tidak mampu bersuara mewakili dirinya sendiri. Bahasa budaya, adat kebiasaan, dan sejarahnya dianggap misterius dan tidak terorganisir, dan oleh karena itu terserah bagi Barat untuk melengkapi konteks guna menginterpretasi dan mengkodifikasikannya. Selama beratus tahun masa kolonialisme, hermeneutika, cara memandang dan menilai orang dan budaya Timur yang salah tersebut diterapkan.

Sekalipun demikian dari perempat pertama abad ke-20, pantas dicatat nama seorang seniman Jawa-Yogyakarta yang kemudian menetap di negeri Belanda, RM Jodjana, yang menciptakan karya-karya tari modern yang cukup dipuji di forum dunia. “(Jodjana) dapat membuat wajahnya seperti topeng, menyiratkan ketenangan jiwa yang menunjukkan kemampuannya dalam mengontrol segala bentuk emosi” (The Saturday Review). Dari komentar di atas, tampak sekali kualitas gerak dan ekspresi tari Jawa masih kuat mewarnai pertunjukkan RM Jodjana.

Di Jawa dan Bali pertunjukan tari erat terkait dengan gamelan dan wayang. Empat tahun sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1941, di Keraton Yogyakarta lahir tari baru, yaitu beksan golek Menak yang menurut tradisi diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX, lebih tepatnya, barangkali, oleh seniman-seniman keraton Yogya di bawah petunjuk dan patronase Sri Sultan. Tampak bahwa orientasi nilai masyarakat Jawa tradisional kepada kelompok sangat kuat. Orientasi ini menuntut kepatuhan dan penghargaan kepada yang lebih tua dan berkuasa. Di dalam penciptaan seni, orientasi kolektif-daerah dan tuntutan perfeksi-teknik lebih menonjol dari pada kreativitas. Yang juga harus diingat bahwa penciptaan genre baru di dalam konteks tradisi, sering dilakukan dengan memanfaatkan elemen-elemen seni pertunjukkan yang sudah ada, seperti tampak dalam wayang golek menak karya Sultan HB IX yang bertolak dari wayang (golek Menak), gamelan, dan tari klasik Jawa gaya Yogyakarta.

Menjelang kemerdekaan, semasa angkatan Pujangga Baru, intelektual dan seniman Indonesia menghadapi dilema, apakah akan mengembangkan budaya Indonesia mengikuti model Barat yang menekankan pentingnya individualisme dan kreativitas, atau model Timur yang memfokus wacana kepada kesadaran kelompok dan perfeksi teknik. Berbeda dengan modernisasi seni sastra, musik dan seni rupa yang mengacu pada model Barat, modernisasi tari dilakukan bertolak dari tradisi lokal. Balet, misalnya, di Indonesia tidak pernah diterima sebagai dasar pengembangan tari secara nasional.

Setelah Indonesia Merdeka

Wacana budaya pada awal kemerdekaan Indonesia adalah menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Kepribadian nasional menjadi isu penting untuk mempersatukan rakyat Indonesia yang berlatar budaya berbeda-beda. Kebudayaan dan kesenian nasional penting tetap konservasi warisan budaya dan identitas daerah juga perlu. Dilema ini selalu menyertai perkembangan tari Indonesia.

Lima tahun setelah proklamasi Kemerdekaan (1950), pemerintah mendirikan Konservatori Karawitan (Kokar yang kemudian menjadi SMKI) yang pertama di Surakarta, Jawa Tengah. Sekolah menengah kesenian serupa menyusul didirikan di Denpasar, Bandung, Padangpanjang, Makassar, dan Surabaya. Sekolah-sekolah ini mengajarkan berbagai bentuk seni tari, musik, pedalangan, dan teater daerah dari wilayah di mana sekolah-sekolah tersebut didirikan. Dari nama yang dipilih, “konservatori”, menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terfokus pada konservasi seni tradisi.

Tahun 1955, rombongan tari modern dari Amerika Serikat (Martha Graham) mengadakan pertunjukan di Jakarta. Dua tahun setelah kunjungan Martha Graham, tiga seniman tari muda Indonesia-Bagong Kussudiardja, Wisnu Wardhana, dan Setiarti Kailola-berangkat ke AS untuk mengikuti festival tari musim panas di Connecticut College dan belajar tari modern dari Martha Graham di New York. Setiarti dari Jakarta, berlatar belakang ballet, tetapi Bagong dan Wisnu keduanya penari klasik Jawa-Yogyakarta yang andal. Dari ketiganya yang bertahan dan terus berkarya adalah Bagong Kussudiardja. Salah satu sebabnya, Bagong piawai memadukan bahan-bahan tradisi dari Jawa, Sunda, Bali, tiga di antara banyak puncak-puncak kesenian daerah. Karya-karya epik Bagong (Diponegoro, Jayakarta, Gadjah Mada) yang memadu elemen-elemen budaya daerah dan bersemangat nasionalis serasi dengan wacana budaya pemerintah yang mencari kesenian nasional yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Karya-karya Bagong saat ini dikenal masyarakat luas sebagai tari Indonesia “kreasi baru”.

Tahun 1961, Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata (PDPTP) mengambil prakarsa mengadakan pertunjukan kolosal Sendratari Ramayana Prambanan (SRP). Yang menarik, Bagong sempat belajar dengan Martha Graham dan juga seorang pelukis modern, maka karya Bagong lebih memiliki orientasi individual dan kreativitas. Sementara RT Kusumokesowo, mantan abdidalem keraton Surakarta dan pengajar tari klasik Jawa di Kokar Surakarta, dalam berkarya menekankan orientasi kelompok dan lebih menuntut perfeksi teknik sesuai kaidah tradisi.

Berusaha memadukan gaya tari Surakarta, Yogyakarta, dan tari daerah lainnya, format kerja RT Kusumokesowo memang lebih luas. Tetapi cara kerja kreatif dalam Ramayana Prambanan lebih dekat dengan cara kerja tradisi keraton. Sebagai penata tari, RT Kusumokesowo dibantu oleh KRT Wasitodipuro (dari Paku Alaman) dan RL Martopangrawit dari Surakarta di bidang karawitan. Untuk menangani drama atau pengadeganan didampingi oleh RM Ng Bambang Soemodarmoko. Perlu dicatat, pemrakarsa Sendratari Ramayana Prambanan adalah Letjen Djatikusumo yang juga Menteri PDPTP dan salah seorang putra Sunan PB X. Penari, pemain gamelan, penyanyi koor adalah siswa-siswa Kokar (Solo), KONRI (Yogya), serta murid-murid privat para empu tersebut. Penari massal dilatih dari anak-anak muda sekitar Prambanan. Dipentaskan rutin setiap malam purnama selama lima bulan setahun dan enam kali/lakon setiap bulannya, SRP menjadi tempat belajar yang menarik bagi penari-penari muda yang kemudian menjadi tokoh penari, penata tari, dan pemikir tari Indonesia seperti Sardono W Kusumo, Retno Maruti, Sal Murgiyanto, dan Sulistyo S Tirtokusumo.

Genre baru “sendratari” diterima dengan baik oleh masyarakat dan menjadi sajian seni wisata yang populer. Dalam tempo dekat sendratari tersebar ke Jawa Timur (Wilwatikta di Pandaan) dan Denpasar, Bali. Bagong Kussudiardja juga menggarap beberapa karyanya dalam bentuk sendratari atau dramatari tanpa dialog. Orientasi cerita masih sangat kuat, saya kira karena pengaruh wayang orang dan wayang kulit. Demikian pula di Bali, genre sendratari menambah perbendaharaan dramatari daerah yang sudah ada. Seperti di Jawa, sendratari di Bali diciptakan bersama oleh sebuah tim yang terdiri dari pengajar, asisten, dan siswa-siswa Kokar Bali di bawah arahan seniman I Wayan Beratha. Pola koreografinya mirip dengan SRP. Kecuali cerita wayang Ramayana yang sangat populer sebagai sajian wisata ditampilkan pula kisah sejarah dan cerita rakyat. Sendratari Bali diiringi gending dan gamelan Bali, dengan gerak, rias, dan kostum yang dikembangkan dari perbendaharaan tradisi yang ada. Bentuk sendratari begitu populer sehingga menjadi acara utama dalam Pekan Kesenian Bali yang berlangsung setiap tahun. Penciptaannya ditangani secara khusus oleh tim artistik gabungan dari Kokar (SMKI) dan ASTI (STSI) Bali. Hasilnya dipentaskan di panggung Werdhi Budaya, Taman Budaya, Denpasar, Bali.

Tahun 1963, pemerintah membuka perguruan tinggi seni tari yang pertama yaitu Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta yang kemudian disusul dengan sekolah tinggi serupa di Denpasar, Bandung, Surakarta, Padangpanjang, dan Surabaya. Pada waktu yang bersamaan beberapa pengajar dari sekolah-sekolah tinggi tersebut dikirim belajar (dan mengajar) ke luar negeri sebagian besar ke Amerika Serikat untuk memperluas wawasan dan pendidikan. Akibatnya, kecuali melestarikan berbagai bentuk seni pertunjukan tradisi, di perguruan tinggi seni penulisan, penelitian, dan penciptaan karya baru juga dipacu. Bahan-bahan seni tradisi yang ada ditafsirkan kembali secara kreatif.

Revitalisasi tari

Di Surakarta pada paruh kedua dekade 1960-an pemerintah Orde Baru mendirikan Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang bertugas menggali dan merevitalisasi berbagai bentuk seni tradisi: repertoar tari klasik, gending-gending ageng, naskah-naskah lakon, pengetahuan dan praktik pedalangan, dsb. Untuk kurun waktu yang cukup lama (1968-1983), STSI dan PKJT dipimpin oleh Drs Sedyono (Gendon) Humardhani, yang memiliki pengalaman dan wawasan kesenian yang luas. Maka yang terjadi kemudian bukan saja penggalian dan pelestarian berbagai bentuk seni pertunjukan lama, tetapi juga revitalisasi seni tradisi dan penciptaan karya-karya baru dengan bahan tradisi tetapi berorientasi masa kini. Namun hasil karya lulusan STSI baru minimal 10 tahun kemudian tampak.

Setelah Bagong, dua tokoh tari yang muncul pada awal pemerintahan Orde Baru adalah Sardono W Kusumo dan Retno Maruti, keduanya murid RT Kusumokesowo dan penari Ramayana Prambanan. Bersama Bagong, tahun 1964 keduanya terpilih sebagai penari dalam misi kesenian pemerintah ke New York World Fair. Selama di New York, Sardono sempat belajar dengan penata tari Jean Erdmand. Kembali dari New York setahun kemudian, Sardono dan Maruti menetap di Jakarta dan aktif berkarya di Pusat Kesenian Jakarta “Taman Ismail Marzuki” (TIM) yang dibuka Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin tahun 1968. Sebuah tonggak penting bagi perkembangan seni tari, wayang, dan gamelan terjadi di Jakarta.

Di TIM Sardono mengadakan sebuah workshop yang diikuti oleh penari-penari andal dari berbagai daerah yang tinggal di Jakarta: Retno Maruti, S. Kardjono, Sentot Sudiharto (Jawa), I Wayan Diya (Bali), Huriah Adam (Minangkabau), Yulianti Parani, dan Farida Oetoyo (ballet). Dalam workshop ini, Sardono tidak mengajarkan teknik gerak melainkan membiarkan setiap penari memakai teknik gerak tari yang dikuasainya. Sardono melatih sensitivitas dan mengeksplorasi gerak secara kreatif melalui improvisasi. Sardono ingin memodernisasikan tari tradisi dengan menginterpretasikannya kembali secara kreatif. Metoda kreatif inilah yang kemudian dilanjutkan Sardono dalam proses penciptaannya bersama penari-penari Jawa yang menghasilkan Samgita I-XII, dan kemudian dilaksanakan di Bali (Cak Rina dan Dongeng dari Dirah), dan pedalaman Kalimantan Timur (Hutan Plastik, Hutan yang Merintih) dan karya-karya kontemporer lainnya.

Kecuali itu, atas prakarsa ketua DKJ, D Djajakusuma, anggota wayang orang Panca Murti (Jakarta) yang bubar, ditampung di TIM dalam wayang orang Jaya Budaya yang dimotori antara lain oleh Sardono W Kusumo, S Kardjono, dan Retno Maruti. Dan ketika para pemain penari Panca Murti bergabung dalam WO Bharata, Retno Maruti mendirikan kelompok tarinya Padneswara. Sementara Maruti setia kepada bentuk dan nilai keindahan tradisi Jawa, Sardono menjelajah berbagai budaya daerah dan menciptakannya kembali dengan interpretasi pribadi. Selesai mengikuti workshop, para peserta workshop kembali menekuni dan merevitalisasi tradisinya masing-masing, tetapi dengan sikap dan semangat baru.

Tahun 1978-87 Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Festival Penata Tari Muda yang bukan saja diikuti penata tari dari Jawa (Ben Suharto) dan Bali (I Wayan Dibia) tetapi juga dari Sumatera, Sulawesi dan daerah lain seperti Gusmiati Suid, Tom Ibnu, Deddy Luthan, Wiwiek Sipala, Nurdin Daud, dan Marzuki Hasan. Sebuah tonggak penting yang lain.

Dua forum tari penting dalam dekade terakhir abad ke-20 adalah Indonesian Dance Festival (IDF) yang diselenggarakan bersama oleh Institut Kesenian Jakarta, Yayasan Kesenian Jakarta, dan Dewan Kesenian Jakarta, IDF telah memunculkan penata-penata tari muda seperti Boi G. Sakti, Sukarji Sriman, Mugiyono, Ketut Rina, M Miroto, dan Eko Supriyanto. Kedua, forum Art Summit Indonesia (1995 dan 1998) yang bukan hanya menampilkan karya-karya tari kontemporer Indonesia (Sardono W Kusumo, Gusmiati Suid, Bagong Kussudiardja) tetapi juga karya musik mutakhir yang bertolak dari gamelan (R Supanggah, Suka Hardjana) yang diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Kesetiaan memelihara tradisi Jawa

Setiap pukul 09.00 WIB para pemain gamelan jawa yang biasa disebut para niyaga itu telah bersiap di Bangsal Sripanganti Keraton Jogja. Mereka terdiri dari beberapa laki-laki dan perempuan berumur dari berbagai daerah di Jogja yang tetap patuh mengikuti adat kraton. Para niyaga tersebut datang dari Wonosari, Kulonprogo, Bantul, Sleman dan juga dari Kota Jogja. Sebanyak 63 perkumpulan niyaga tersebut datang bergantian setiap hari ke Keraton Jogja guna memainkan gamelan bergending Jawa mulai pukul 10.00-12.00WIB. Permainan itu merupakan bentuk penghormatan daerah kepada Keraton yang secara langsung juga memiliki peran dalam mempertahankan budaya.

Bagi setiap penabuh gamelan Jawa di Keraton Jogja diwajibkan memiliki tatakrama atau sopan santun tertentu mulai dari pakaian sampai perilaku.
Dari sisi pakaian, pemain laki-laki wajib memakai penutup kepala yang disebut iket pranaan biru. Selain itu mereka juga wajib mengenakan pakaian sorjan berwarna biru dengan garis 3-4 atau disebut lupat. Sedangkan bawahan mengenakan jarik khas Jogja yang bercirikhas ada warna putihnya dan bertekuk depan atau wiru engkol.

Sementara itu, pemain perempuan wajib mengenakan gelung tekuk di kepalanya atau disebut ukel tekuk. Sedangkan untuk pakaianya para niyaga perempuan ini wajib berpakaian krah sampai di leher atau disebut sinen jagong dan mengenakan jarik atau bawahan gaya Jogja. Pelan-pelen mereka mendekati pendopo seluas 20 x20 meter. Di sebelah selatan pendopo itu berjajar dua perangkat gemelan bernama Kyai Madharsih untuk slendro dan Kyai Pamikatarsih untuk pelog. Sementara itu, sebelah utara dari pendopo berjajar kursi untuk para tamu.

Sebelum naik ketas pendopo para niyaga tersebut terlebih dahulu menghormat dengan cara duduk bersimpuh dan menyembah pendopo. Selanjutnya mereka menaiki tangga pendopo dengan berjalan jongkok sampai di depan peralatan masing-masing. Begitu sampai di depan gamelan mereka siap melantunkan alunan gending Jawa khas Jogja.

Setelah ada aba-aba dari salah satu niaga dengan kendang alunan gending bertempo lambat mulai terdengar. “Ning... nong... ning... gung...” suara itu membuat perhatian puluhan wisatawan asing dan domestik yang sedang berkunjung ke Keraton Jogja. Ada yang duduk manis mendengarkan alunan gending dan suara waranggana, ada juga yang sibuk memotret atau merekam.

Frank dan Alysia misalnya. Dua wisatawan asing ini mengaku baru pertama kali melihat dan mendengar musik tradisional ini di langsung dari Keraton Jogja. “Kesenian ini sangat luar biasa indahnya,” kata Frank yang datang dari Prancis. Sementara Alysya yang berasal dari Australia mengaku terkesan dengan kekompakan para pemain sehingga menjadi irama yang harmoni.

Perhatian itu berbeda dengan Romo Yamto yang kesehariannya menjadi pengawas pemain gamelan. Tiap hari dia bersama seorang abdi dalem atau pegawai kerajaan duduk dibelakang pendopo mendengarkan gending dengan seksama untuk mencatat kesalahan bagian gending yang sedang dimainkan oleh para niyaga.

Ia harus mencatat setiap kekeliruan dan memberikan saran kepada kelompok setiap kali setelah pertunjukan. Menurut Romo Yamto, para niyaga yang bermain tersebut merupakan perkumpulan-perkumpulan di seluruh wilayah Jogja yang berjumlah 63 perkumpulan dan dibina serta diawasi oleh Keraton Jogja. “Pertunjukan yang dilakukan oleh perkumpulan dari berbagai daerah untuk Keraton ini telah ada sejak sekitar tahun 1990. Saya juga hanya meneruskan pendahulu,” kenang Romo Yamto.

Gamelan di Jogja sendiri merupakan gamelan Jawa yang berbeda dengan gamelan Bali ataupun gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan gamelan Bali yang rancak dan gamelan Sunda yang mendayu-dayu dan didominasi suara seruling.
Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya. Pandangan hidup masyarakat Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama.

Romo Yamto mengatakan, “Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.” Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong, bonang. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu.

Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending.

Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A dengan perbedaan interval yang besar.

Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.

Gamelan dapat sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa. Penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana.

Oleh Tentrem Mujiono
Wartawan Harian Jogja

Idul Fitri Tradisi Jawa

Ada yang unik pada perayaan idul fitri dalam tradisi jawa. Tradisi halal bihalal dalam keluarga besar biasa dikenal dengan istilah “sungkeman”. Tradisi ini pada umumnya dilakukan di kalangan kerabat dekat saja. Inti dari acara sungkeman adalah saling minta maaf antar kerabat. Sungkeman tidak hanya dilakukan dengan berjabat tangan. Ada sejumlah prosedur tertentu yang perlu dilakukan pada acara sungkeman ini.

# Sungkem terurut dari yang dituakan.
Sungkem dilakukan secara terurut dari yang dituakan. Misal dalam keluarga besar ada Kakek, Nenek, Budhe, Om, Anak Budhe, Anak Om; maka urutan sungkeman adalah
- Budhe sungkem ke kakek, lalu ke nenek
- Om sungkem ke ke kakek, lalu ke nenek, lalu ke budhe.
- Anak budhe sungkem ke kakek, lalu ke nenek, lalu ke budhe, lalu ke om.
- dan terus mengular hingga semua anggota keluarga besar sudah sungkeman.

# Prosedur saat sungkeman.
Sungkem dilakukan dengan menundukkan kepala ke lutut kerabat yang dituakan. Berikut contoh isi kalimat yang diucapkan saat sungkeman:
“Ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten atas sadaya kalepatan kula, nyuwun pangestunipun”
yang artinya
“Mengucapkan selamat hari raya, mohon maaf atas segala kesalahan saya, dan minta doa restunya”.
Biasanya, kalimat tersebut akan dijawab dengan permohonan maaf kembali dan disambung dengan do’a dari kerabat yang dituakan dan diamini oleh yang sungkem. Dan semuanya tentu tidak luput dari penggunaan tingkat dalam bahasa jawa sesuai tingkat usianya.

# Pembagian Angpau (opsional)
Angpau biasa disebut juga sebagai “salam tempel”. Biasanya pembagian angpau dilakukan setelah selesai acara sungkeman. Angpau diberikan dari orang yang telah bekerja ke orang yang belum bekerja. Jadi, meskipun sudah usia bekerja akan tetapi belum bekerja, ia boleh menerima angpau. Begitu juga sebaliknya, meskipun masih muda dan sudah bekerja, ia tidak lagi menerima angpau, dan dianjurkan memberikan angpau ke yang belum bekerja atau kerabat yang masih kecil.

Kemudian, barulah halal bihalal dilanjutkan ke tetangga. Setelah sungkeman selesai, semua keluarga kembali bergabung dan menikmati sajian lebaran yang telah dipersiapkan sebelumnya sembari bercengkerama. Dan tawa ceria yang membahana kembali mengisi ruangan keluarga.

Seni Tradisional Jawa

Seni Tradisional Jawa secara sempit berarti karya seni yang diciptakan dan berasal dari Pulau Jawa, Indonesia. Beberapa contoh dari seni tradisional jawa antara lain tari gambyong.

Kesenian tradisional dari Jawa ada berbagai macam, tetapi secara umum dalam satu akar budaya kesenian Jawa ada 3 kelompok besar yaitu Banyumasan, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Seni Tradisional Banyumasan

Seni Tradisional Jawa Timuran


Bahasa Jawa

Dalam kebudayaan terdapat berbagai unsur-unsur kebudayaan secara universal. Unsur-unsur universal itu yang sekalian merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, adalah:

1. sistem religi dan upacara kebudayaan,

2. sistem organisasi dan kemasyarakatan,

3. sistem pengetahuan,

4. bahasa,

5. kesenian,

6. sistem mata pencaharian hidup,

7. sistem teknologi dan peralatan,

Unsur-unsur kebudayaan itu akan dijumpai pada setiap belahan di dunia itu pada kelompok masyarakat yang berbudaya.[1]

Salah satu adalah kebudayan Jawa yang memiliki tatanan budaya yang sangat kompleks dan memilki cakupan kebudayaan yang luas. Daerah kebudayaan Jawa relatif luas, yaitu meliputi seluruh bagian tengah dan timur dari Pulau Jawa. Daerah-daerah yang meliputi kebudayaan Jawa yang sering disebut sebagai daerah kejawen meliputi daerah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan Pesisir dan Ujung Timur.[2]

Sehubungan dengan hal itu, maka seluruh rangka kebudayaan Jawa ini, memiliki pusat kebudayaan. Pusat kebudayaan merupakan kekayaan kebudayaan. Pusat Kebudayaan Jawa terletak di Yogyakarta dan Surakarta. Sudah barang tentu di antara sekian banyak daerah tempat kediaman masyarakat Jawa terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal dalam beberapa unsur-unsur kebudayaannya, seperti perbedaan mengenai istilah tehnis, dialek bahasa dan lainnya. Namun, perbedaan-perbedaan yang itu tidaklah besar karena apabila diteliti lebih lanjut menunjukkan satu pola ataupun satu sistem kebudayaan Jawa.

Salah satu unsur itu yang menarik adalah bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Bahasa inilah yang menjadi peranan penting dalam hubungan-hubungan sosial sehari-hari. Salah satu dari unsur atau sistem budaya Jawa adalah mengenai bahasa. Bahsa berasal dari pusat kebudayaan yang kemudian menyebar sampai ke daerah pinggiran. Sesampainya di daerah pinggiran bahsa mengalami suatu perubahan bunyi ujar atau arti yang terkandung dalam bahasa itu. Perubahan itu di karena oleh lokal geografi dimana bahasa dari pusat kebudayaan di adopsi oleh masyarakat pinggiran. Lokal geografi dapat ditunjukkan melalui cara berbicara atau dialek yang diucapkan.

Local geografi kebudayaan Jawa yang berpusat di Yogyakarta-Surakarta menurut dialekknya ditunjukkan melalui skema dibawah.

JAWA

BANYUMAS

PASISIR

SURAKARTA

JAWA TIMUR

PURWOKERTO

KEBUMEN

PEMALANG

BANTEN UTARA

CIREBON

TEGAL

SEMARANG

REMBANG

SURAKARTA

YOGYAKARTA

SURABAYA

MADIUN

BANYUWANGI

Skema Bahasa Jawa dan dialek-dialeknya :

1. Bahasa Jawa dialek Surabaya

Surabaya merupakan salah satu kota terpenting di Indonesia. Surabaya merupakan ibukota dari Propinsi Jawa Timur. Surabaya yang notabene merupakan kota pelabuhan banyak menerima pengaruh kebudayan dari luar. Sebagai kota pelabuhan Surabaya akan banyak dikunjungi oleh suku bangsa lain, yang berasal dari luar terutama. Namun tidak demikian, Surabaya tetap mendapatkan pengaruh lebih banyak dari pusat-pusat kebudayaan (Surakarta). Karena dilihat dalam bidang sintaksis, struktur kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya tak jauh berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Perbedaannya hanya terletak pada bidang intonasi. Intonasi bahasa Jawa dialek Surabaya mirip dengan intonasi pemakai bahasa Madura dalam berbahasa Jawa. Hal ini tidak mengherankan, sebab di daerah Surabaya dan sekitarnya banyak tinggal orang Madura yang berbahasa Jawa. Intonasi bahasa Madura digunakanya untuk berbahasa Jawa, sehingga hal ini mempengaruhi bahasa Jawa. Intonasi ini kemudian diwariskan secara turun-temurun.[3]

Dalam hal itu, maka kebahasaan di Surabaya dapat dibedakan lagi menjadi:

1. Bahasa Jawa Baku (Bahasa Jawa Surakarta) yang berfungsi seperti Bahasa Jawa pada umumnya. Bahasa jawa baku ini digunakan sebagai bahsa pengantar di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama, dalam peraturan-peraturan resmi yang telah ditetapkan.

2. Bahasa Jawa dialek Surabaya, yang dipakai dalam keadaan yang bersifat informal, tak dinas, santai, akrab, bernada kekeluargaan, dan berlatar belakang kedaerahan.

2. Cakupan Wilayah Dialek Surabaya

Orang-orang yang memakai dialek Surabaya dapat disebut sebagai masyarakat Surabaya. Yang dimaksud dengan masyarakat Surabaya tidak terbatas pada kotamadya Surabaya. Tetapi cakupan wilayah masyarakat Surabaya meliputi daerah Gresik, Mojokerto, dan Sidoarjo. Di daerah ini, terutama di kampung-kampung atau di desa-desa, orang sering bercakap dengan bahasa Jawa krama, terutama anak muda pada orang tua atau orang yang dianggap tua, ataupun pada orang sebaya yang baru dikenalnya.

3. Bahasa Sebagai Tanda Status Sosial dan Penggunaannya

3.1 Bahasa Jawa Baku

Di dalam pergaulan-pergaulan hidup maupun perhubungan-perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya. Demikian pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya. Yaitu bahasa Jawa Ngoko dan Krama.

3.1.1 Bahasa Jawa Ngoko

Bahasa Jawa Ngoko merupakan bahasa apa adanya, tanpa adanya tujuan untuk memberikan penghoramatan. Bahasa Jawa Ngoko digunakan oleh:

1. Anak yang belum mengerti apa-apa (kanak-kanak)

2. Orang yang berbicara dengan orang seumurannya.

3. Orang tua yang berbicara dengan anak muda.

4. Pemimpin yang berbicara denagn bawahannya.

Dalam bahasa Jawa ngoko, masih dibagi lagi menjadi dua golongan, yaitu:

3.1.1.1 Ngoko lugu, adalah bahasa ngoko apa adanya, tanpa tercampur dengan bahasa Krama.

Contoh: Kowe mau numpak apa?

Bocah-bocah padha mlaku-mlaku.

3.1.1.2 Ngoko andhap, adalah bahsa ngoko ayng tercampur denagn bahsa krama.

Contoh: Sliramu mau nitih apa?

Sampeyan mau numpak apa?

Panjenengan mau nitih apa?

Pak Sastra ora sida tindak-tindak.

3.1.2 Bahasa Jawa Krama.

Bahasa Jawa Krama merupakan bahsa taklim atau bahasa yang digunakan untuk menghormati seseorang. Bahasa Jawa krama digunakan oleh:

1. Anak muda kepada orang yang lebih tua atau orang yang dianggap lebih tua.

2. Murid kepada guru

3. Anak kepada orang tuanya.

4. Bawahan kepada atasannya.

3.1.2.1 Wujud dari bahasa Jawa Krama adalah:

a. Wujud dari pembetulan bahsa Jawa Ngoko yang di-krama-kan, contohnya

Kurang

Dadi

Upama

Cedhak

Mau

Nganti

Kowe

——————-

———-

———-

———-

———-

———-

Kirang

Dados

Upami

Celak

Wau

Ngantos

Panjengengan

b. Wujud kata lain, namun artinya tetap atau kata yang berasal dari serapan bahasa asing, contohnya

Telu

Lima

omah

——————-

———-

Tiga

Gangsal

griya

c. Wujud kata yang sama dengan Jawa Ngoko, seperti; wani, pance, anyar, wulang, dsb. Kata-kata seprti itu disebut sebagai kata ”krama ngoko”.

d. Wujud kata yang boleh di-krama-kan atau tidak di-karama-kan, kata itu disebut ”krama wenang”, contohnya

Rokok/ses

Utama/utami

Ijen/piyambak

3.1.2.2 Bahasa Jawa Krama Inggil.

Bahasa Jawa krama inggil, tingkatan untuk menghormati lebih tinggi daripada bahas Jawa krama. Bahasa Jawa krama inggil disebut sebagai bahasa kurmat luhur. Kata-kata bahasa Jawa krama inggil tidak terlalu banyak, krama inggil hanya menjelaskan mengenai nama anggota badan, tempat, tindakan, keadaan, dan nama-nama barang yang sering digunakan oleh orang yang dihormati.

Contoh:

Ngoko

Krama

Krama Inggil

Arti

Njaluk

Kandha

Mlaku

Lunga

Kowe

Nyuwun

Matur

Mlampah

Kesah

Sampeyan

Mundhut

Dhawuh, ngendika

Tindak

Tindak

Panjengengan

Membeli

Berkata

Berjalan

Pergi

Kamu

Selain itu, bahasa Jawa yang telah diklarifikasinya dipergunakan juga tergantung pada tempat bahasa itu digunakan. Sepert bahasa Kedhaton atau bahasa Bagongan yang digunakan khusunya untuk kalangan istana; bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa orang-orang di desa-desa; dan akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni salah satu macam bahasa daerah yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan marah atau mengumpat seseorang.

3.2 Bahasa Jawa Dialek Surabaya.

Dalam bentuk morfologi, bahasa Jawa dialek Surabaya tidak mempunyai kekhususan yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Sistem imbuhan, ulangan dan kata majemuk umumnya tak berbeda dengan bahasa Jawa umum.

Dilihat dari segi fonetik, perbedaan fonetik antara bahsa Jawa dialek Surabaya dengan bahsa Jawa umum terletak pada perbedaan vokal dan konsonan. Misalnya kata pitek menjadi petek, irung menjadi erung, dhuwur menjadi dhukur, nyilih menjadi nyelang, siji menjadi sithuk, dan kari menjadi gari.

Daftar kata bahasa Jawa dialek Surabaya. Kata-kata itu seperti: arek, cacak, ndhuk, kon, pena, rika, embong, mene, nggone, montor muluk, praoto, kunci gombyok, diteleki, mumet, bahbah (e)na, temen, nedha nrima, dan lain-lain. Untuk mengingatkan pembaca jangan sekali-kali menggunakn kata gitik dan balon di Surabaya. Sebab kata gitik (digitik, nggitiki) berarti menyenggamai seorang wanita. Begitu pula kata balon, diartikan pelacur. Sebagai gantinya, sebaliknya menggunakn kata dop lampu atau plembungan.

Bahasa Jawa berdialek surabaya merupakn bahsa rakyat. Bila bahasa ini kini digunkan oleh para pegawai di kotamadya, gubernuran, di universitas (baik dosen atau mahasisiwa), dan lain-lain, karena anak-anak rakyat tersebut kini banyak yang menjadi pegawai negeri atau orang yang berpangkat.

Ciri bahasa rakyat ini antara lain ditandai dengan pemakaian kata-kata dancuk, damput, jangkrik, taek, simboke ancok, dobol, asu, matamu, e jaran, dan lain-lain, dalam pergaulan sehari-hari tanpa memandang pangkat, jabatan, maupun tempat. Kata-kata ini dalam bahasa Jawa umum dipandang orang sebagai kata-kata yang kasar atau kotor (saru), dan biasanya digunakan untuk memarahi seseorang atau ditujukan kepada orang yang dibenci, tapi dalam masyarakat Surabaya kata-kata ini digunakan dalam situasi penuh keakraban, terutama kata dancuk, diamput, dan jangkrik. Dikatakan penuh keakraban karena bila kata tersebut diucapkan seseorang terhadap orang lain (teman atau kenalan lama), maka yang dikenalinya tidak marah. Jadi sambil bersalaman, kata itu diucapkan.

Surabaya masih mendapatkan pengaruh besar kebudayaan Jawa. Bahasa Jawa baku masih tetap digunakan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah dasar maupun menengah pertama, pedesaan-pedesaan. Bahasa Jawa baku masih tetap dipergunakan dalam situasi resmi (pertemuan, upacara pernikahan, rapat), dan bahsa tulis (surat kabar, surat, dan sastra). Bahasa Jawa baku yang digunakan masih tetap menggunakan kaedah bahasa yang telah ditetapkan di pusat-pusat kebudayaan. Penggunaan bahasa Jawa baku juga masih tetap mengunakan aturan-aturan yang mengait bahasa yang harus digunakan.

Bahasa Jawa dialek Surabaya yang dianggap sebagai bahasa ”kasar” diartikan sebagi sebuah bahasa untuk mengakraban. Bahasa yang digunakan bila pihak-pihak yang menggunakan telah saling memahami. Bahasa dengan dialek Surabaya tidak mengenal adanya klarifikasi sosial atau status sosial yang melekat pada diri seseorang.

Untuk penyampaian kata-kata keakraban perlu diketahui dan diselidiki demi menumbuhkan pengertian antar daerah pengguna bahasa Jawa.


ADAT PERNIKAHAN JAWA

Pernikahan adalah proses perjalanan manusia menyatukan dua insan yang saling mencintai dan menyayani, oleh karena itu pernikahan bagi orang jawa sangat sakral seumur hidup hanya sekali .
Oleh karena itu pasti harus ada persiapan yang matang agar pernikahan tersebut terencana dan tidak amburadul maka perlu di susun sebuah susunan acara. Susunan Acara dalam pernikahan jawa khususnya kota solo sering disebut dengan istilah "RANTAMAN TUMAPAKING ADICORO " .

Mungkin jaman sekarang orang udah sulit membuat sebuah acara proses pernikahan dalam bahasa jawa . kebetulan kakak kandung saya habis melakukan pernikahan secara adat jawa asli / adat kota solo .



Dalam blog ini saya kasih contoh susunan acara pernikahan jawa.

I. BUAT SUSUNAN PRETELAN
II. BUAT SUSUNAN ATUR PANUWUN.
III. BUAT DHAPUKANING PANITIA

CONTOH SUSUNAN ACARA PERNIKAHAN JAWA.

I ) PRATELAN

DHAPUKAN PARA PARAGA KRIDA DHARMO SAHA URUTA-URUTANING LAMPAH PAHARGIAN DAUPIPUN :

RR. .........................

BPK./ IBU ...............

KALIAN

BGS . ..................................

BPK/IBU . SUKADI

IJAB KABUL :

Dinten : Sabtu Pon

Tanggal : 22 Desember 2007

Tabuh : 10.00 WIB

Wonten : Gedung “ Mekar Kusuma “

Jl. Yosodipuro No. 72 Solo.

Kebudayaan Jawa

Harmoni

Kebudayaan Jawa kuwe ngutamaken keseimbangan, keselarasan karo keserasian, dadi kabeh unsur (urip karo mati, alam karo makhluk urip) kudu harmonis, saling berdampingan, intine kabeh kudu cocog.

Apa-apa sing marakna ora cocog kudu dihindari, angger ana sing bisa ngganggu keseimbangan kuwe kudu cepet digenahna ben kabeh mbalik harmoni maning, mbalik cocog maning.

Umum sing cokan ngganggu keseimbangan kuwe yakuwe polah menungsane, mbuh polah menungsa karo menungsa utawa menungsa karo alam. Angger polah menungsa karo alam, sing nggenahna maning umume dipimpin utawa dadi tanggungjawab pimpinan masyarakat.

Sing angel nang kebudayaan Jawa yakuwe angger keseimbangan kuwe diganggu polah menungsa karo menungsa sing umum nimbulaken konflik (harmoni keganggu). Sing jenenge ora cocog utawa ora seneng tuli umum ning merga arep ngindari konflik, umume rasa ora cocog kuwe dipendem.

Kelas Sosial

Nang masyarakat Jawa umume ana golongan-golongan sosiale, misal: golongan Priyayi karo rakyat biasa. Ana maning golongan Santri karo golongan Abangan. Kuwe juga keton sekang basa. Nang basa Jawa ana kelas utawa tingkatan-tingkatan sing bisa nggambaraken status sosial penuture.

Tingkatan Sosial Basa Jawa

  1. Ngoko
  2. Ngoko andhap
  3. Madhya
  4. Madhyantara
  5. Kromo
  6. Kromo Inggil
  7. Bagongan
  8. Kedhaton

Loro sing terakhir mung dituturaken nang lingkungan keluarga Kraton.

Kejawen

Kejawen yakuwe kepercayaan sing urip nang suku Jawa. Kejawen kiye dasare sekang kepercayaan Animisme sing dipengaruih ajaran Hindu karo Budha. Mulane suku Jawa umum dianggep sebagai suku sing duwe kemampuan nglakoni sinkretisme kepercayaan, kabeh budaya liye diserap lan ditafsiraken miturut nilai-nilai Jawa.

PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL DAN PERAN SERTA CONDUCIVE PERGURUAN TINGGI NON SENI ATASNYA

*

naskah ceramah pengantar sarasehan

GELAR SENI DAN BUDAYA '98

Di Aula Timur ITB

Bandung, 21 November 1998

*

oleh :

Priadi Dwi Hardjito

Lektor Etnomusikologi, Organologi & Akustika Nada

Jurusan Karawitan STSI Bandung

*

I

PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL DI ERA PRA DAN PASCA PROKLAMASI KEMERDEKAAN RI

Dalam kehidupan masyarakat di pusat pemerintahan kerajaan-kerajaan (kraton) Indonesia pada era pra proklamasi kemerdekaan R.I. tahun 1945, seni tradisional sungguhlah berdaya dan sekaligus berjaya. Dalam tata masyarakat kraton tersebut terdapat lapis kelas menengah masyarakat yang diberi tugas oleh raja untuk terus-menerus membina dan mengembangkan seni tradisional. Mereka ini adalah para pujangga dan budayawan kraton, yang digaji, diberi pangkat, dan status kebangsawanan yang cukup tinggi. Melalui tangan-tangan para budayawan-bangsawan kraton inilah sebenarnya telah berlangsung proses pemberdayaan seni tradisional beserta segenap nilai adi-luhungnya selama berabad-abad, secara sistematis, terwaris sinambung turun-temurun dan lestari.

Di era selanjutnya, pasca proklamasi kemerdekaan R.I. 1945, terjadilah perubahan pada tata pemerintahan mereka, dari bentuk kerajaan-kerajaan di bawah jajahan Belanda, menjadi daerah-daerah di bawah naungan Republik Indonesia. Tata bermasyarakat kerajaan otomatis menjadi berakhir, dan kelompok bangsawanpun sudah tidak lagi sebagai kelas menengah masyarakat baru dari suatu negara yang berbentuk republik. Haruskah kesinambungan kerja keras turun-temurun yang dirintis para budayawan-bangsawan dalam memberdayakan seni tradisional ini juga berakhir seiring dengan berakhirnya peran kelas menengah kraton yang mereka sandang selama ini ?

Jawab atas pertanyaan ini haruslah berbunyi tidak, bilamana dikehendaki tetap hadir kokohnya keberadaan bangsa Indonesia beserta keutuhan jati dirinya. Kesinambungan kerja keras dalam memberdayakan seni tradisional ini harus berlanjut. Untuk itu tetap diperlukan hadirnya langkah kiprah kaum kelas menengah baru Indonesia pasca proklamasi, yaitu para warga negara Indonesia yang berpendidikan tinggi, baik yang masih terikat formal dengan kampus pendidikan tinggi, yaitu dosen, mahasiswa maupun staf administrasi, maupun alumni perguruan tinggi yang menekuni profesi pengabdian di luar lingkungan kampus.

II

PERAN SERTA CONDUCIVE WARGA PERGURUAN TINGGI NON SENI DALAM MEMBIDANI KELAHIRAN DAN MEMBERDAYAKAN PENDIDIKAN TINGGI SENI TRADISIONAL

Di dasawarsa kedua usia Republik Indonesia terlihat kiprah peran serta conducive kaum kelas menengah baru Indonesia dalam upaya pemberdayaan seni tradisional pun semakin meningkat, menyusuli kiprah upaya pemberdayaan potensi pendidikan tinggi seni rupa yang telah hadir lebih awal di tahun 1949, melalui pemberdirian Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang diresmikan 15 Desember 1949 oleh Menteri PP & K Sarino Mangunsarkoro. Kelas menengah pemberdaya seni tradisional itu terdiri dari warga perguruan tinggi non seni yang berasal dari beberapa kampus.

Muncullah kemudian dari kampus-kampus tersebut nama-nama mahasiswa dan mahasiswi, yang di kelak kemudian hari ikut membidani kelahiran perguruan-perguruan tinggi seni di Indonesia. Di antara mereka terdapat nama Edi Sedyawati (penari Jawa alusan yang kala itu adalah mahasiswi jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UI, dan kini menjadi Dirjen Kebudayaan DEPDIKBUD), Sudarsono (penari Jawa gagahan dan kala itu adalah mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM, dan pernah menjadi Direktur ASTI Yogyakarta dan Rektor ISI Yogyakarta), Sedyono Humardani (penari Jawa gagahan dan sekaligus alusan, yang kala itu adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UNDIP dan pernah menjadi Direktur ASKI Surakarta), dan Saini Kosim (pemain band dan penulis naskah drama terkenal dan kala itu adalah mahasiswa Jurusan Sastra Inggris IKIP Bandung yang pernah menjadi Direktur ASTI Bandung, dan kini Direktur Kesenian DEPDIKBUD).

Nama-nama perguruan tinggi seni negeri yang berhasil mereka bidani kelahirannya dan juga kemudian berhasil mereka berdayakan dalam upaya pemberdayaan seni tradisional adalah Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta yang diresmikan Menteri PD & K Prijono tanggal 30 November 1963; Akademi Musik Indonesia (AMI) Yogyakarta yang didirikan 13 Juli 1964; Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, didirikan 15 Juli 1964; Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padang Panjang yang diresmikan Menteri PD & K Ny. Artati Marzuki Sudirdjo pada tanggal 22 Desember 1965; Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar, didirikan tanggal 7 Agustus 1969; dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung yang didirikan 15 Januari 1970.

Sampai awal tahun 1970-an kelima perguruan tinggi seni tradisional di atas belum menghasilkan seorang pun sarjana seni pertunjukkan non IKIP. Karenanya hingga saat itu kehadiran sarjana-sarjana bidang non seni dalam menggeluti kegiatan seni tradisional selalu disambut hangat dan dihormati masyarakat, serta dinilai positif sebagai upaya mempertinggi martabat seni tradisional.

III

PEMBERDAYAAN SENI TRADISIONAL DI KAMPUS ITB PADA ERA KELAHIRAN UNIT-UNIT KESENIAN DAERAH DI AWAL TAHUN-TAHUN 1970-AN

Unit kesenian yang lahir paling awal di kampus ITB adalah Paduan Suara Mahasiswa (PSM) ITB, yang memang diperlukan kehadirannya sebagai perangkat resmi acara/upacara akademik sidang terbuka senat ITB. Adapun unit kesenian daerah tertuanya adalah Perkumpulan Seni Tari & Karawitan Jawa (PSTK)- ITB yang lahir pada tanggal 7 Maret 1971. Menyusul setelah itu lahirlah Lingkung Seni Sunda (LSS)-ITB bulan April 1971, Keluarga Kesenian Maha Gonta Ganesha (MGG)-ITB bulan September 1971, Unit Kesenian Sulawesi Selatan (UKSS)-ITB, Unit Kesenian Minang (UKM)-ITB, dan Unit Kesenian Sumatra Utara (UKSU)-ITB yang semuanya terjadi pada tahun-tahun 1970-an, berkat kerja keras PR-III ITB Wiranto Arismunandar, beserta Koordinator Kesenian ITB Harsono Tarupratjeka, yang kemudian dilanjutkan oleh But Muchtar dan setelah itu oleh Ida Dewa Gede Raka.

Pada awal tahun 1970-an ini peran serta conducive langsung mahasiswa dan sarjana non seni dalam kegiatan pentas seni tradisional -- baik sebagai penari, penabuh, sinden, dalang, maupun peran-peran kesenimanan lain -- serta merta disambut hangat segenap kalangan masyarakat tanpa sedikitpun ada reserve. Mahasiswa dan sarjana non seni dinilai sangat berjasa dalam mempertinggi martabat seni tradisional dengan mengangkatnya sebagai bagian dari sisi intra dan ekstra kegiatan ilmiah kampus.

Terhadap kegiatan pemacuan prestasi kompetitif berkesenian bagi masyarakat pun mahasiswa perguruan tinggi non seni juga telah merintiskan contoh penanganan lomba seni yang inovatif dan mendidik. Pada tahun 1974 Dewan Mahasiswa ITB menyelenggarakan Festifal Karawitan Sunda, Jawa, Bali se Bandung Raya untuk menampung semangat berkompetisi karawitan masyarakat Bandung yang saat itu sangat tinggi. Dalam festifal tersebut diterapkan peraturan yang melarang lulusan Konservatori Karawitan, dan sarjana muda karawitan lulusan Akademi Seni Karawitan serta pelatih karawitan dari grup-grup peserta lomba untuk ikut menjadi penabuh dalam grup peserta manapun. ( Catatan: saat itu tidak dicantumkan larangan bagi sarjana seni karawitan lulusan ASKI, karena saat itu sarjana seni karawitan memang belum ada ). Terhadap grup-grup peserta lomba yang berhasil tampil sebagai pemenang, Dewan Mahasiswa ITB memberikan kepada pelatihnya tanda penghargaan sebagai pelatih berprestasi, disertai hadiah-hadiah yang mungkin kalau dinilai secara komersial tidaklah sangat tinggi. Di sini telah diterapkan prinsip lomba "jurdil" yang tampaknya belum berhasil diterapkan pada jenis "lomba" tertentu di masyarakat.

Untuk sisi kegiatan ilmiah seni tampaknya harus dikenang nama Bambang Sadharta, mantan mahasiswa Jurusan Tambang ITB angkatan 1974 yang kini menjadi salah satu " orang minyak " penting di Kalimantan Timur. Mantan Ketua PSTK-ITB periode 1976-1977 ini seusai lengser dari keprabonnya ditugasi oleh Ketua PSTK-ITB penggantinya untuk memimpin Divisi Penelitiian Gamelan PSTK-ITB. Dengan bantuan Badan Masalah Kemahasiswaan ITB maka Divisi pimpinan Bambang Sadharta ini berhasil menerbitkan sebuah kajian keilmuan tentang filsafat nada dalam judul buku "KEMPYUNG-700". Melalui penugasan Dirjen Kebudayaan (Prof. Dr. Hayati Soebadio saat itu), pada tahun 1981 isi buku hasil penelitian PSTK-ITB tersebut diajarkan dalam "ASEAN WORKSHOP ON THE MANUFACTURE OF THE INDONESIAN GAMELAN"-- yang diikuti oleh ahli-ahli musik, ahli metalurgi, dan musikolog dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Muang Thai -- sebagai bagian dari materi tentang filsafat pembentukan nada gamelan.

Sejak 1981 hingga 1985 nama PSTK-ITB selalu dicantumkan dalam publikasi-publikasi ilmiah tentang filsafat nada. Sejak 1981 hingga sekarang, materi penelitian PSTK-ITB tersebut masih tetap diajarkan sebagai bagian materi perkuliahan Etnomusikologi, Organologo, dan Akustika Nada pada Jurusan Karawitan STSI Bandung. Kini materi penelitian PSTK-ITB tersebut diangkat sebagai metoda kupas dari analisis naskah penelitian Tim Indonesia (di bawah pimpinan Dr. Sri Hastanto; mantan Direktur ASKI Surakarta 1986-1988, dan mantan Ketua STSI Surakarta 1988-1997) dalam SONIC ORDER ON ASEAN TRADITIONAL MUSIC RESEARCH, yang sedang dikerjakan sejak bulan Agustus 1998 hingga bulan Maret 1999 nanti.

IV

KEPESATAN PEMBERDAYAAN SDM SENI TRADISIONAL INDONESIA DI PEREMPAT-ABAD KEDUA USIA UNIT-UNIT KESENIAN DAERAH ITB

Usaha pemerintah Indonesia dalam memberdayakan kemampuan SDM seni tradisional Indonesia -- baik dalam arti kuantitas maupun kualitas -- telah berhasil dilaksanakan dengan gemilang. Jumlah sarjana seni pertunjukan Indonesia lulusan perguruan-perguruan tinggi seni non IKIP (di tambah sedikit sarjana seni rupa) kini telah lebih dari cukup, bahkan selalu berlebih dari Pelita V (1989/1994) hingga Pelita VII (1999/2004) seperti tampak pada tabel I. Dari tabel tersebut terlihat kelebihan jumlah sarjana seni di Pelita V adalah sebanyak 1.186 orang, di Pelita VI adalah sebanyak 1.940 sarjana seni, dan di Pelita VII

Tabel I. KELEBIHAN JUMLAH PERSEDIAAN SARJANA SENI

PELITA

PERSEDIAAN

KEBUTUHAN

KELEBIHAN

V (1989-1994)

1.688

502

1.186

VI (1994-1999)

2.922

982

1.940

VII (1999-2004_

1.688

1.445

234

SEJAK PELITA V (1989-1994) HINGGA PELITA VII (1999-2004)¹

adalah sebanyak 234. Jumlah ini belum termasuk lulusan STSI Bandung, karena pada saat data ini disusun STSI Bandung masih berstatus akademi seni yang belum berhak menyelenggarakan program S-1. Sejak 1996 tiap tahunnya STSI Bandung meluluskan lebih dari 100 sarjana seni baru tiap kali wisuda.

Bagi warga perguruan tinggi non seni seperti ITB, fakta di atas hendaknya disikapi dengan arif. Ternyata kondisi kuantitas dan kualitas SDM seni tradisional Indonesia di perempat-abad kedua usia unit-unit kesenian daerah ITB ini sudah sangat maju, sungguh berbeda dengan kondisi ketiadaan sarjana seni yang terjadi di tahun-tahun 1970-an, di saat unit-unit kesenian daerah ITB didirikan. Dengan demikian kebijakan-kebijakan pemberdayaan seni tradisional yang ditempuh pihak ITB selama ini pun harus mulai dievaluasi lagi, untuk dikaji kebijakan-kebijakan pembinaan seni tradisional mana yang tetap perlu dipertahankan dan mana-mana yang perlu dipertimbangkan lagi karena akan semakin mempersesak lapangan kerja para alumni perguruan tinggi seni.

Dalam kaitan evaluasi ini perlu dipertimbangkan dilakukannya rintisan kebijakan inovatif untuk membantu memberi jalan keluar bagi masalah lapangan kerja sarjana seni kepada para alumni unit kesenian ITB, penggalangan potensi pendanaan mereka, dan pengarahan kegiatan kompetitif seni mahasiswa ke arah penciptaan lapangan kerja membuat instrumen musik tradisi dalam negeri. Tampaknya perlu ditiru strategi pabrik piano YAMAHA yang mengadakan lomba piano untuk mendongkrak penjualan produk mereka. Tidak dapatkah mahasiswa ITB mempelopori lomba gender, lomba rebab, lomba kecapi dengan strategi serupa? Tidakkah dengan demikian industri pembuatan gender akan semakin marak, dan juga akan terasa manfaatnya bagi SDM seni?

V

PENUTUP

Demikian telah dipaparkan problematika nyata yang ada pada upaya pemberdayaan seni tradisional, yang telah menunjukkan keberhasilan nyata dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas sarjana seni. Mudah-mudahan paparan ini dapat menjadi masukan pengantar yang bermanfaat bagi sarasehan Gelar Seni dan Budaya hari ini.

Semoga. Bandung, 21 November 1998 Priadi Dwi Hardjito